PIKIRAN RAKYAT –
Di balik dinginnya tembok ruang tahanan Mapolres Garut, dua pria hanya bisa tertunduk. Wajah mereka muram, sesekali menatap kosong ke lantai.
DH (38) dan HH (31), dua pria yang berasal dari Subang dan Pati, kini harus mempertanggungjawabkan aksi nekat mereka menggelapkan 7,9 ton biji kopi kering milik seorang petani di Garut. Korban yang kemudian menyadari telah dijahati oleh kedua orang itu pun kemudian melapor ke polisi.
Aksi mereka memang terencana rapi. Dengan berbekal identitas palsu dan surat jalan seolah-olah resmi, mereka datang menemui Supriadi, seorang petani kopi asal Garut, pada 20 Mei 2025.
Pada saat itu, Supriadi hendak mengirimkan kopi kering miliknya ke Medan melalui jasa kargo. Tanpa rasa curiga, ia menyerahkan 7.922 kilogram biji kopi kepada dua pria yang mengaku sebagai kurir pengangkutan.
“Modusnya cukup meyakinkan. Mereka datang membawa truk, lengkap dengan dokumen pengiriman yang ternyata palsu,” ungkap Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Garut, AKP Joko Prihatin, Kamis (3/7/2025).
Dikirimkan ke Jateng
Menurut Joko, setelah empat hari berlalu, tidak ada kabar dari Medan yang diterima korban bahwa kopi yang dikirimnya telah tiba. Supriadi mulai curiga, dan setelah ditelusuri, ternyata jejak kopi senilai Rp760 juta itu justru berbelok ke arah yang tak terduga—bukan ke utara menuju Sumatera, melainkan ke selatan, ke Semarang, Jawa Tengah.
“Setelah penyelidikan mendalam, kami menemukan fakta bahwa kedua pelaku tidak pernah berniat mengantarkan barang itu ke Medan. Kopi dijual di Semarang dan uangnya digunakan untuk keperluan pribadi,” tuturnya.
Tidak tinggal diam, Tim Jatanras Polres Garut langsung melakukan pengejaran. Dalam beberapa minggu, upaya tersebut membuahkan hasil. DH berhasil ditangkap di Subang, sementara HH ditangkap di Karawang tanpa perlawanan.
Ia menjelaskan, dari tangan para pelaku, pihaknya berhasil mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk surat jalan pengiriman palsu yang digunakan untuk menipu korban. Setelah diperiksa, keduanya akhirnya mengakui seluruh perbuatannya.
Menurut Joko, motif mereka sederhana, yaitu keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat, meski harus mengorbankan kepercayaan orang lain. Kini, keserakahan itu berbalas karma, keduanya harus meringkuk di balik jeruji besi.
“Pengakuan mereka, hasil penjualan dibagi untuk kebutuhan pribadi. Tidak ada niat sejak awal untuk mengantar barang tersebut,” ucap Joko.
Kasus ini masih terus dikembangkan. Pihak kepolisian menduga adanya kemungkinan pihak lain yang terlibat, terutama terkait proses penjualan kopi dalam jumlah besar di Semarang. “Kami masih menyelidiki apakah ada penadah atau pihak lain yang membantu,” tambah Joko.
Kedua pelaku kini dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.***