Categories Berita Pendidikan

Janji Palsu di Kamboja, PMI Ilegal Pulang dalam Kondisi Cacat hingga Meninggal


TANGERANG, Berita kita–

Lima pekerja migran Indonesia (PMI) pulang ke Tanah Air dalam keadaan cacat hingga meninggal setiap bulan.

“Setiap bulan, untuk kasus PMI ilegal hampir ada sekitar empat sampai lima kasus, baik itu kondisi cacat hingga meninggal,” kata Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Banten, Budi Novijanto di Polresta Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Kamis (3/7/2025).

Budi menjelaskan penyebab para PMI meninggal dunia karena faktor kondisi kerja yang tidak layak. Namun, sebagian besar juga akibat mengalami sakit.

“Meninggal lebih banyak karena sakit, cuma kalau kita dalami lagi kenapa dia sakit, itu karena kondisi di sana yang tidak layak,” ujarnya.

“Tidak layak kenapa? Mereka dipekerjakan tanpa ada batas waktu kerja yang jelas. Kadang 20 jam, kadang 24 jam, sehingga kondisi badan mereka yang tidak kuat untuk itu,” lanjut Budi.

Selain itu, pekerja yang mengalami cedera fisik setelah pulang ke tanah air juga diduga disebabkan oleh kecelakaan kerja hingga kekerasan.

“Banyak (karena) kecelakaan kerja, di samping itu juga ada akibat kekerasan,” katanya.

Ditawari pekerjaan yang layak dan gaji tinggi

Budi menyebutkan bahwa calon PMI banyak terjebak dalam modus bujukjan pekerjaan yang layak, bahkan bisa menjadi operator komputer di Kamboja.

“Pengakuan mereka yang berangkat ini banyak dijanjikan sebagai operator komputer, kemudian juga ada sebagai pelayan di restoran,” ungkapnya.

Ia mengungkap, hingga saat ini, jumlah PMI ilegal pada Semester I 2025 mencapai 2.000 orang.

Jumlah tersebut mengalami penurunan dari periode yang sama tahun lalu, sebanyak 4.000 orang.

Adapun, keberangkatan pekerja migran tertinggi yaitu ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.

“Memang kami tidak bisa menentukan tujuan akhirnya, tapi pada saat berangkat mereka selalu bilang, mereka banyak itu ke Malaysia, Thailand, dan (tujuan akhirnya) Kamboja,” ujar Budi.

Tren perekrutan PMI ilegal ke Kamboja sangat masif dilakukan melalui media sosial, terutama Facebook.

Pengguna aplikasi biru itu disebut banyak yang termakan oleh iming-iming janji pekerjaan dengan upah menggiurkan.

“Di Kamboja mereka mendapatkannya (PMI) dari media sosial, mereka tertarik karena janji-janji,” kata Budi.

Budi mengatakan pihaknya saat ini sedang gencar melakukan sosialisasi terkait bahaya bekerja di luar negeri dengan cara yang tidak prosedural.

Artinya, keberangkatan ke luar negeri secara tidak resmi biasanya tidak dilengkapi dengan surat keterikatan kerja, tidak memiliki sertifikasi kemampuan, serta dokumen keberangkatan yang seadanya.

Hundreds of victims are rescued

Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) Kombes Ronald Sipayung mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk dijadikan pekerja migran secara ilegal.

Dari 11 tersangka yang diungkap, tiga di antaranya perempuan, yaitu NU (28), EM (38), dan H (51).

Kemudian 8 pria dengan inisial SY (44), AB (38), F (35), AP (30), MA (26), S (30), AH (44), M (51).

Tersangka tersebut telah merekrut 340 korban yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat.

“340 yang kita cegah memang sebagian besar dari Jawa Barat, Banten dan Jakarta,” kata Ronald dalam konferensi pers di Polresta Bandara Soetta, Kamis (3/7/2025).

Sementara itu, ratusan calon pekerja migran nonprosedural akan dikirim ke Timur Tengah hingga Kamboja.

Kasatreskrim Polresta Bandara Soekarno Hatta Kompol Yandri Mono mengatakan, kronologi kasus ini berawal dari laporan masyarakat terkait adanya sekelompok orang yang akan bekerja ke luar negeri tetapi tidak memiliki dokumen resmi.

Tim dari Polresta Bandara Soetta kemudian melakukan pemeriksaan di Terminal 2 dan Terminal 3, lalu ditemukan korban calon pekerja migran Indonesia.

“Kami melakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan kami berhasil mengidentifikasi 28 orang dengan peran masing-masing,” katanya.

Yandri menjelaskan, ada tersangka yang perannya mengurus dokumen.

Kemudian ada yang membantu dalam proses keberangkatan di Bandara Soetta, dan ada juga yang merekrut melalui media sosial Facebook.

“Perannya adalah merekrut di media sosial Facebook, kemudian disebutkan juga ada yang mengurus dokumen,” katanya.

Ia menemukan motif tindak pidana perdagangan orang ini karena adanya keuntungan besar yang diperoleh, yaitu sekitar Rp4–Rp7 juta per orang yang berhasil dikirim.

Atas perbuatannya, para tersangka dikenai Pasal 83 Juncto Pasal 68 dan/atau Pasal 81 Juncto Pasal 69 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Kemudian Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp600 juta.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like