JAKARTA, Beritakita.online
– Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengaku sudah menghubungi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, untuk memeriksa pelaku pengoplosan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Tidak hanya menelepon langsung, Amran juga telah mengirimkan surat kepada kedua institusi penegak hukum tersebut. Menurutnya, praktik mafia beras harus mendapatkan ganjaran atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan.
“Kami sudah menyurat langsung ke Pak Kapolri, kami telpon Pak Jaksa Agung, kami telpon, dan kami menyurat langsung. Ini tidak boleh dibiarkan, ini tidak boleh dibiarkan, ini kesewenang-wenangan,” ujar Amran saat rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta, ditulis Jumat (4/7/2025).
Sebagai tindak lanjut, Amran menyebut proses pemeriksaan mafia beras sudah dilakukan Satuan Tugas (Satgas) Pangan Mabes Polri, pada Rabu (2/7/2025) kemarin.
Amran memastikan kasus ini diusut tuntas oleh Satgas Pangan Polri dan Kejaksaan Agung. Di sisi lain, ekosistem pangan di dalam negeri terus diperbaiki.
Ia mengaku 80 persen beras SPHP di tingkat konsumen dikemas ulang menjadi beras premium. Hasil oplosan pun dijual dengan harga tinggi alias premium.
Akibat praktik kecurangan tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp10 triliun. Sementara itu, beban kerugian di tingkat konsumen diprediksi mencapai Rp99 triliun.
Sebelumnya, tim investigasi yang terdiri dari Kementerian Pertanian (Kementan), Satgas Pangan Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), Badan Pangan Nasional (Bapanas), serta unsur pengawasan lain melakukan pemeriksaan langsung di sejumlah pasar di 10 provinsi.
“Setelah SPHP, kita lihat, tanya langsung di tempat-tempat penyewa SPHP, yang dilakukan adalah, ini informasi dari mereka, 20 persen dipajang, 80 persen ini dibongkar, kemudian dijual premium (mahal),” paparnya.
Perhitungan potensi kerugian negara merujuk pada selisih antara harga jual dengan subsidi harga pemerintah. Contohnya, harga subsidi sebesar Rp1.500, namun dinaikkan menjadi Rp2.000 – Rp3.000.
Dari selisih tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp2 triliun per tahunnya. Jika dijumlahkan selama 4 tahun berturut-turut, maka kerugian mencapai Rp10 triliun.
“Rp2.000 naik, Rp2.000 sampai Rp3.000. Negara memberikan subsidi Rp1.500, kemudian dia kembali menaikkan harga menjadi Rp2.000-Rp3.000, kita hitung kerugian negara, bukan kerugian masyarakat, di luar itu Rp2 triliun, dalam satu tahun,” beber Amran.
“Kalau ini terjadi 5 tahun, itu Rp10 triliun. Dan yang diambil adalah 1,4. Memang izin Bu, mungkin memang berat bagi kami. Tapi kami sudah siap tanggung risiko, segala risiko. Ini sudah lama kami bergelut dengan ini dan selalu sasaran tembaknya ke saya, waktu itu,” lanjutnya.
Lebih jauh, sejak beberapa bulan lalu Amran mensinyalir adanya anomali lantaran harga beras di sejumlah daerah mengalami kenaikan, melebihi harga eceran tertinggi (HET). Lonjakan itu janggal karena pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) melimpah di Perum Bulog.
Ternyata, sebanyak 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21 persen memiliki berat yang tidak sesuai.
“Kemudian potensi kerugian, izin Ibu Ketua (Komisi IV DPR RI) kami sampaikan apa yang melatarbelakangi ini, potensi kerugian Rp99 triliun. Sebenarnya kami tidak ingin juga melakukan hal itu, yaitu mengecek, tetapi ada anomali terjadi dua bulan lalu, tiga bulan berturut-turut, harga di petani turun, tetapi harga di konsumen naik, stok banyak,” ungkap Amran.